Revisi UU Pemilu, 1 Fraksi Tolak Usulan KPU-Bawaslu Daerah Bersiafat Permanen
Baturaja Radio - Pansus RUU Pemilu sejak sore ini mengadakan rapat terbuka dengan
pemerintah. Agenda pembahasan terkait pemutusan 14 isu krusial jelang
pemilu serentak 2019.
Hingga saat ini, baru dua isu yang dimusyawarahkan. Pertama soal
syarat umur pemilih. Semua fraksi setuju tetap pada ketentuan lama yang
termuat dalam pasal 1 angka 34 DIM 48, kecuali Nasdem.
Anggota pansus RUU Pemilu dari Nasdem Johnny G Plate meminta syarat
pemilih sudah dan atau pernah kawin dihapuskan. Ia berpendapat, syarat
pemilih sudah berusia 17 tahun saja cukup.
"Kita tidak boleh mendorong pernikahan dini," jelasnya soal penolakan syarat sudah pernah kawin dalam pasal tersebut.
Pantauan Okezone, Selasa (23/5/2017), isu pertama cepat mendapat ketukan palu. Namun saat membahas isu kedua, perundingan berjalan alot.
Setiap kali Ketua RUU Pansus Pemilu Lukman Edy hendak mengetuk
palu, anggotanya dari fraksi PDI P Arief Wibowo menginterupsi. Dia
mengkritisi sikap wakil ketua umum PKB tersebut yang main mengesahkan
saja.
Padahal menurut Arief, peserta rapat sudah setuju di awal kalau
sekarang adalah sesi untuk setiap fraksi menyatakan dulu posisinya.
Keputusan, pikirnya, bisa dilakukan setelah semua standing position per
isu itu dimusyawarahkan.
Isu kedua terkait usulan menjadikan lembaga pemilu, yakni KPU dan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota berstatus ad hoc, mayoritas fraksi pada dasarnya sudah satu suara. Hanya PDI P yang beroposisi.
"Hampir semua fraksi sudah setuju bahwa KPU dan Bawaslu tingkat
Kabupaten/Kota sifatnya lembaga permanen, hanya PDI P yang masih punya
catatan," jelas Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu, Ahmad Riza Patria.
Di luar rapat, Arief Wibowo menjelaskan, dirinya sepakat dengan
seluruh fraksi bahwa kepermanenan KPU Kabupaten atau Kota dan Bawaslu
tetap bisa permanen. Akan tetapi, itu hanya berlaku sampai pemilu
serentak 2019. Dengan catatan, panwaslu tetap ad hoc.
"Tapi nanti untuk 2024, ketika pemilu lebih serentak lagi
(pilkada, pileg, pilpres semua bareng) KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota
sudah tidak relevan lagi. Sehingga lebih baik dijadikan adhoc,"
urainya.
Lebih lanjut, dia menerangkan jika KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dijadikan ad hoc,
otomatis negara juga bisa menghemat anggaran. Seperti diketahui,
lembaga pemilu biasanya baru punya kesibukan dua tahun jelang
penyelanggaran pemilu. Itulah mengapa tiga tahun setelah 2019, Arief
menilai nantinya lembaga tersebut hanya akan makan gaji buta.
"Kami belum hitung berapa anggaran yang bisa dihemat, tetapi
logikanya saja kalau tidak ada pemilu, seperti Bawaslu, itu mau awasi
apa? Apa mau mengawasi kerja partai politik? Kan enggak mungkin," tukasnya.(okezone.com)
Tidak ada komentar