Kejagung Telusuri Perusahaan dan Rekening Terkait Kasus Supersemar
Baturaja Radio - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah mengeluarkan
penetapan aanmaning terkait eksekusi Yayasan Supersemar sebesar Rp 4,4
triliun. Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku jaksa pengacara negara pun
pro aktif untuk mencari aset-aset yayasan bikinan Soeharto itu.
"Penelusuran aset kita kerja sama dengan PPA (Pusat Pemulihan Aset) itu sudah berjalan bersama intelijen. Kemarin PPA juga sudah melapor ke Pak Jaksa Agung dan diteruskan ke kami. Itu ada beberapa data-data yang perlu kita pelajari dan telusuri. Sudah ada itu," kata Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (11/12/2015).
Bambang menyebut aset-aset yang ditelusuri seperti sejumlah perusahaan dan rekening. Penelurusan itu dilakukan dengan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK).
"Sementara ada beberapa perusahaan. Saya juga belum lihat secara detail. Ada beberapa rekening juga yang perlu kita telusuri. Nanti akan bekerja sama dengan PPATK. PPA juga sudah koordinasi dengan PPATK. Data-datanya masih kita pelajari," ucap Bambang.
Pihak pengadilan telah mengeluarkan aanmaning untuk pihak yayasan. Penetapan itu untuk yayasan yang dipanggil pada Rabu, 23 Desember 2015. Aanmaning sendiri dilakukan dengan melakukan panggilan pada pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan. Apabila pihak yang kalah tidak hadir maka akan dipanggil lagi.
Namun apabila tidak hadir lagi maka hak tergugat untuk dipanggil gugur dan tidak perlu ada proses sidang peringatan. Kemudian ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada panitera atau juru sita.
Yayasan Supersemar didirikan pada awal tahun 70-an dengan tujuan sosial kependidikan. Namun dalam perjalanannya, dana yayasan itu diselewengkan.
Dari putusan Mahkamah Agung (MA) kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Namun dalam perjalanannya dana yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia itu diselewengkan. Setelah Soeharto tumbang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejagung menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pada 27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.
Vonis ini kemudian dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada penggugat yaitu 75 persen x USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 atau sama dengan Rp 139.229.178.
Namun ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar tetapi tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik itu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi.
Jaksa lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013. Ternyata di saat yang bersamaan Yayasan Supersemar juga melakukan PK. Namun MA memenangkan PK yang diajukan jaksa dan vonis itu diketok pada 8 Juli 2015.
Dari duit yang diselewengkan itu, berdasarkan putusan MA, kebocoran dana mengalir ke sejumlah bank dan juga perusahaan, yaitu:
1. Bank Duta, kini menjadi Bank Danamon
2. Sempati Air
3. PT Kiani Lestari
4. PT Kalhold Utama
5. Essam Timber
6. PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri
7. Kosgoro
Jumlah duit yang diterima beragam dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda yaitu:
Bank Duta menerima USD 420 juta, dengan rincian:
Pada 22 September 1990 sebesar USD 125 juta
Pada 25 September 1990 sebesar USD 19,59 juta
Pada 26 Desember 1990 sebesar USD 275,04 juta
PT Sempati Air menerima Rp 13 miliar
Pada 23 September 1989 hingga 17 November 1998
PT Kiani Lestari menerima Rp 150 miliar
Pada 13 November 1995
PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep
Hutan Tanaman Industri menerima Rp 12 miliar
Pada Desember 1982 hingga Mei 1993
Kelompok Usaha Kosgoro menerima Rp 10 miliar
Pada 28 Desember 1993(Detik.com)
"Penelusuran aset kita kerja sama dengan PPA (Pusat Pemulihan Aset) itu sudah berjalan bersama intelijen. Kemarin PPA juga sudah melapor ke Pak Jaksa Agung dan diteruskan ke kami. Itu ada beberapa data-data yang perlu kita pelajari dan telusuri. Sudah ada itu," kata Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (11/12/2015).
Bambang menyebut aset-aset yang ditelusuri seperti sejumlah perusahaan dan rekening. Penelurusan itu dilakukan dengan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK).
"Sementara ada beberapa perusahaan. Saya juga belum lihat secara detail. Ada beberapa rekening juga yang perlu kita telusuri. Nanti akan bekerja sama dengan PPATK. PPA juga sudah koordinasi dengan PPATK. Data-datanya masih kita pelajari," ucap Bambang.
Pihak pengadilan telah mengeluarkan aanmaning untuk pihak yayasan. Penetapan itu untuk yayasan yang dipanggil pada Rabu, 23 Desember 2015. Aanmaning sendiri dilakukan dengan melakukan panggilan pada pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan. Apabila pihak yang kalah tidak hadir maka akan dipanggil lagi.
Namun apabila tidak hadir lagi maka hak tergugat untuk dipanggil gugur dan tidak perlu ada proses sidang peringatan. Kemudian ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada panitera atau juru sita.
Yayasan Supersemar didirikan pada awal tahun 70-an dengan tujuan sosial kependidikan. Namun dalam perjalanannya, dana yayasan itu diselewengkan.
Dari putusan Mahkamah Agung (MA) kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Namun dalam perjalanannya dana yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia itu diselewengkan. Setelah Soeharto tumbang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejagung menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pada 27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.
Vonis ini kemudian dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada penggugat yaitu 75 persen x USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 atau sama dengan Rp 139.229.178.
Namun ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar tetapi tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik itu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi.
Jaksa lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013. Ternyata di saat yang bersamaan Yayasan Supersemar juga melakukan PK. Namun MA memenangkan PK yang diajukan jaksa dan vonis itu diketok pada 8 Juli 2015.
Dari duit yang diselewengkan itu, berdasarkan putusan MA, kebocoran dana mengalir ke sejumlah bank dan juga perusahaan, yaitu:
1. Bank Duta, kini menjadi Bank Danamon
2. Sempati Air
3. PT Kiani Lestari
4. PT Kalhold Utama
5. Essam Timber
6. PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri
7. Kosgoro
Jumlah duit yang diterima beragam dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda yaitu:
Bank Duta menerima USD 420 juta, dengan rincian:
Pada 22 September 1990 sebesar USD 125 juta
Pada 25 September 1990 sebesar USD 19,59 juta
Pada 26 Desember 1990 sebesar USD 275,04 juta
PT Sempati Air menerima Rp 13 miliar
Pada 23 September 1989 hingga 17 November 1998
PT Kiani Lestari menerima Rp 150 miliar
Pada 13 November 1995
PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep
Hutan Tanaman Industri menerima Rp 12 miliar
Pada Desember 1982 hingga Mei 1993
Kelompok Usaha Kosgoro menerima Rp 10 miliar
Pada 28 Desember 1993(Detik.com)
Tidak ada komentar